penantian yang berujung perpisahan
Aduh, baca judulnya aja udah ketahuan ni cerita tentang apa.
yup, ditinggalkan. lagi.
Kayanya cintaku padanya hanya berisi kisah tentang ditinggalkan, tanpa aku sanggup untuk balik meninggalkan. Hebat kan dia? Banget.
Kali ini, kisah ini aku tulis setelah aku menangis konyol di sekolah, cuma gara-gara lagu yg mengingatkan aku tentang sambaran petir di tengah malam yang aku alami. Tentunya bukan sambaran petir sungguhan, hanya perumpamaanku saja, karna rasanya memang seperti itu.
Entah aku ini udah cukup kebal dengan segala luka yang menyangkut dia, tapi malam itu, yang pertama kali kurasa adalah perasaan kebas. Hampa. seperti ada yang mengambil selurung organ di dadaku, hingga aku perpikir, "masihkah aku hidup? Masihkah jantung ini berdetak? Masihkah paru-paru ini berfungsi?"
karena, aku bahkan tak merasakan oksigen yang masuk ke paru-paruku atau suara detak jantungku. Semua terasa hening. Lalu terasa torehan luka baru di atas luka akibat seretan di atas silet di hatiku kemarin, belum sembuh, masih di tambah taburan garam oleh kabar itu. Bukan hanya lukanya yg belum menutup, tapi darahnya pun tak mau berhenti mengalir.
Kejadiannya seperti ini:
Ajuk teman papaku di pemancingan, malam itu datang-usianya paling sekitar 20-an, jadi masih muda banget-yah, mamaku sih senang-senang aja, soalnya, papaku ada tugas keluar pulau, jadi klo ada apa-apa(na'uzubillahiminzalik)bisa minta tolong sama laki-laki(cowok di rumahku yg ada saat itu cuma adeku yg berusia 12 dan 6 tahun, ga mungkin kan bisa bantuin klo ada apa-apa?)
mamaku dan ajuk ngobrol, cerita-cerita tentang si dia yg rumahnya lagi di renovasi, kebetulan ajuk itu suka bantu-bantu lah di rumahnya si dia, jadi bisalah mamaku tanya-tanya.
Aku, bosan dengan pembicaraan yg cuma bikin aku iri, karena, ajuk bisa tidur sekamar sama si dia, eits, jangan ngeres,aku cuma iri karena , yah klo aku jadi ajuk kan berarti aku bisa ngelihat dia waktu tidur.
ok, balok lagi, bosan, aku ambil wudhu, solat, terus tidur.
Nah, baru aku mau merebahkan diri di tempat tidur, aku mendengar mamaku berkata, "Eh, 'dia' tu, cuma sampe tahun ini aja kan? ntar 'dia' mau di kuliahkan mamanya ke yogya kah? lupa. ya, kan?"
bayangkan, aku yang hampir aja terlelap, dikejutkan dengan berita bagaikan sambaran petir itu?! Klo aku bilang ga terguncang itu ga mungkin. itu mustahil. Karena setelah semua perasaan mati rasa itu, klo aja aku ga inget itu malam hari, dan mamaku bisa aja menyerbu ke dalam kamarku, mungkin aku akan histeris dan nangis sampe pagi.
Tapi kayanya ga mungkin juga deh, soalnya air mataku kayanya juga udah habis buat nangisi dia, seluruh waktu yang ku punya untuk memikirkannya hanya berujung tangis.
Saat itu, cuma satu pintaku pada Tuhan, "Ya, Allah, tolong, jangan buat dia pergi dari sisiku, ku mohon. Klo perlu, aku bersedia menderita karena cinta ini selamanya. Aku hanya ingin bisa menatapnya. Aku hanya ingin bisa melihatnya, walau itu cuma motornya aja. aku hanya bisa tenang klo aku tahu dia ada di rumah, sehat, dan baik-baik aja. Aku cuma minta itu, Tuhan. Tolong. Tapi klo pun di harus pergi juga, tolong, Berikan aku waktu, untuk mengenang wajahnya sepuas hatiku, walau itu hanya sehari aja, tak mengapa asal aku bisa menanamkan wajahnya, tubuhnya, aroma tubuh dalam ingatanku, walau itu dari jarak yang jauh, walau itu berarti perpisahan untukku, walau itu berarti aku harus merelakannya pergi, membiarkanya jauh dariku. merelakanya tak terjangkau lagi oleh tanganku."